Saturday, October 14, 2017

ANTRE AGAR TAK KORUPSI

 
Oleh ; Zefrin, M.Pd


Pagi yang cerah melihat wajah-wajah yang ceria, penuh semangat berbaris dengan teratur. Diawali dengan menyiapkan barisan, menghormat bendera, memberi salam dan berdoa itulah aktivitas yang dilakukan oleh siswa SD Negeri 89 Sipatana sebelum memulai belajar. Mereka disambut oleh bapak dan ibu guru dengan penuh senyuman hangat masuk ke kelas masing-masing dengan berjabat tangan.
Namun, ada hal yang cukup berbeda terlihat di kelas VI. Begitu selesai kegiatan apel pagi mereka masuk kurang tertib sering mendahului teman, dan saling dorong berebut masuk ke kelas. Kejadian seperti ini sering terlihat, usai apel pagi selesai. Kejadian serupa terlihat pula di kantin sekolah, mereka sering berebut untuk belanja tanpa antre terlebih dahulu. Ketika mengambil wudhu persiapan sholat dzuhur, tak ada antrean disana mereka saling berebut bahkan tak sering pula terjadi pertengkaran.
Perkara antre memang begitu sederhana, tapi implikasi dari budaya antre sangat berdampak pada kehidupan. Keteraturan, ketertiban, keselarasan bagian dari dampak budaya antre. Hal yang tidak kalah penting yakni “antre agar tak korupsi”. Antre menurut KBBI yaitu berdiri berderet-deret memanjang menunggu mendapat giliran. Kegiatan antre dapat kita temukan dimana saja, dan kapan saja. Antre dalam membeli karcis, antre dalam membayar rekening listrik, antre menunggu panggilan ke teller bank dan sebagainya. Di sekolahpun budaya antre sering kita temui. Namun bagaimana kaitan antre dengan korupsi?, mengambil hak orang lain merupakan bagian dari korupsi. Jika kita mendahului orang lain maka kita telah mengambil hak orang lain disana. Membudayakan antre merupakan pelajaran dasar bagi siswa untuk tidak melakukan korupsi.
Sikap dan perilaku siswa yang kurang tertib antre menjadi suatu tantangan yang perlu solusi untuk merubahnya. Pembelajaran antre dan membudayakannya di kelas VI merupakan bagian dari menanamkan nilai-nilai anti korupsi. Harus ada rencana maupun strategi untuk memudayakan antre di kelas VI. Sayapun memulainya melalui empat tahapan yakni 1) memberi pemahaman tentang budaya antre dan dampaknya bagi kehidupan, 2) membuat aturan tentang budaya antre, 3) membiasakan budaya antre masuk kelas, dikantin dan saat mengambil wudhu 4) melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan budaya antre.
Mulailah tahap awal, pagi hari ketika bel masuk berbunyi saya membuat tulisan di papan tulis yang cukup besar yakni tulisan “antre agar tak korupsi”. Sontak ketika masuk mereka kaget dan salah satu siswa mendekat ke meja saya, “ada apa Tiya, adakah yang Pak Guru bisa bantu” tanya saya. “Pak Guru, apa maksud dari antre agar tak korupsi”? tanya tiya dengan wajah yang tampak bingung. Kemudian saya mengapresiasi pertanyaan Tiya dengan memujinya sebagai murid yang pintar agar teman-temannya yang lain bisa termotivasi dalam bertanya, menalar dan mendiskusikan kalimat di papan tulis. Namun sebelum menjawab pertanyaan Tiya tadi mereka melakukan aktivitas rutin masuk kelas yakni menyiapkan kelas, berdoa dan agenda literasi membaca lima belas menit.
Pada saat kegiatan membaca, saya mengarahkan mereka pada teks bacaan terkait pemberitaan berbagai kasus korupsi yang berakhir dengan hukuman penjara. Setelah kegiatan membaca selesai masuklah pada pertanyaan Tiya. Kami mendiskusikan masalah antre, kejadian yang sering terlihat ketika masuk kelas, menyerobot masuk membeli makanan di kantin, perselisihan yang terjadi ketika mengambil wudhu yang faktor penyebabnya yakni “tidak mau antre”. Kemudian disela-sela diskusi Albert bertanya dengan rasa penasaran “Pak Guru, berarti orang yang tidak antri dia melakukan korupsi?”. Saya menjawabnya dengan tegas “Ya, salah satu ciri-ciri orang korupsi adalah mengambil hak orang lain, dan pada saat antri jika Albert menyerobot ditengah-tengah antrean berarti telah mengambil hak orang lain karena mendahuluinya”. Kelas terlihat hening mereka semua terdiam.
Di tengah keheningan itu saya memulainya dengan menanamkan pemahaman tentang budaya antre dan dampaknya bagi kehidupan. Penjelasan dan diskusi kelas mengakhiri tahap pertama dimana memberi pemahaman sehingga mereka mengerti dan memahami akan pentingnya antre agar tak korupsi. Selanjutnya masuk pada tahap kedua yakni membuat kesepakatan melalui aturan-aturan terkait aktivitas antre. Aturan yang dibuat berdasarkan saran dan ide dari siswa, guru hanya memfasilitasi dan mengarahkan kesepakatan-kesepakatan tersebut. Aturan yang disepakati yakni terkait dengan aktivitas antre saat masuk ke kelas, antre berbelanja di kantin sekolah, antre dalam mengambil wudhu ketika hendak sholat. Dari kesepakatan tersebut disiapkan buku calang (catatan pelanggaran) yang memuat catatan-catatan pelanggaran yang dilakukan pada saat tidak tertib dan melanggar antrean.
Setelah kesepakatan itu dibuat maka pada tahap tiga dilaksanakan pembiasaan, tahap ini merupakan tahap yang sangat penting bagi siswa dimana mereka harus melakukan aktivitas antre berdasarkan kesepakatan yang telah mereka sepakati bersama. Pada tahap pembiasaan mereka melakukan aktivitas antre di sekolah, pada saat masuk kelas, di kantin sekolah, dan mengambil wudhu ketika hendak sholat. Seluruh siswa berperan aktif dalam melaporkan apabila terjadi pelanggaran dan kesalahan. Setiap pelanggaran yang terjadi akan dicatat pada buku calang.
Mulailah saya melakukan pengamatan terhadap aktivitas siswa. Ketika melihat mereka di kantin sekolah, saya sangat bangga mereka mulai tertib. Catatan kecil yang saya dapatkan dari aktivitas antre di kantin yakni mereka saling mengingatkan utuk tetap bersikap tertib. Di siang hari ketika hendak mengambil wudhu, tak teredengar lagi sahutan atau teriakan mereka yang selalu berselisih akibat tak tertib antre. Keesokan hari pada saat selesai apel pagi merekapun masuk dengan tertib berjabatan tangan dengan saya, walaupun masih terdengar sahutan saling mengingatkan untuk antre. Tidak masalah buat saya, yang terpenting adalah ini bagian dari pembiasaan, jika pembiasaan ini berhasil maka akan membudaya pada keseharian mereka. Tahap pembiasaan dilaksanakan selama satu bulan setelahnya akan dilakukan evaluasi.
Setelah satu bulan berlangsung, maka pada tahap keempat dilaksanakan evaluasi. Tahap evaluasi dilaksanakan untuk melihat keberhasilan budaya antre. Salah satu acuan dasar dalam mengevaluasi budaya antre adalah dengan membuka buku catatan pelanggaran. Setiap pelanggaran dibahas dilakukan refleksi sebagai perbaikan untuk melaksanakan agenda selanjutnya. Pada tahap evaluasi saya memberikan reward terhadap siswa yang namanya tidak masuk pada buku calang, dan memilih tiga siswa terbaik dalam mengikuti budaya antre di kelas VI. Mereka sangat antusias, sangat senang ketika diberi reward dan terpilih sebagai siswa terbaik budaya antre.
Sayapun mewawancarai salah satu siswa terbaik budaya antre. “Tiya, gimana perasaannya terpilih sebagai siswa terbaik dalam kegiatan ini?”. Tiya menjawab sambil tersenyum, “saya sangat senang Pak Guru”. “Apa kendala dalam melaksanakan kegiatan seperti ini?, tanya saya. “kendalanya tidak ada pak, hanya saja saya selalu mengingatkan teman-teman untuk selalu bersikap tertib” jawabnya. Pertanyaan terakhir “adakah manfaat untuk membudayakan antre?”. Tiya menjawab dengan tegas “ya Pak Guru, tidak ada lagi yang rebutan masuk kelas, semuanya tertib tanpa mendahului orang lain”.
Empat tahapan telah dilaksanakan untuk menumbuhkan budaya antre di kelas. Setelah evaluasi dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan kegiatan budaya antre terlaksana dengan baik. karakter antre sangat sederhana namun terkadang sulit untuk dilaksanakan. Nilai dasar budaya antre akan memberi kontribusi terhadap pendidikan korupsi. Mendahului orang lain tanpa melalui proses antre, sama saja dengan kita mengambil hak orang lain. Inilah bagian dari proses pendidikan karakter yang harus selalu di ajarkan di sekolah.
Sampai saat ini budaya antre terus terbina di kelas VI. Hasil dari pembinaan ini berdampak pada kelas yang lain, dimana strategi menumbuhkan budaya antre agar tak korupsi dilakukan disetiap kelas dan menjadi kebijakan sekolah. Inilah upaya yang dilakukan sejak dini untuk mencegah praktek-praktek korupsi. Jika pendidikan dasar mulai menyentuh agenda-agenda pencegahan korupsi, maka negeri ini akan bebas dari kegiatan korupsi.
Budaya antre mungkin hanya satu dari sebagian upaya dalam memproteksi kegiatan korupsi. Namun, jika kita tidak memulai dari hal-hal yang kecil dan menjadi dasar seperti budaya antre maka sangat sulit untuk melakukan dan memberantas tidakan buruk tersebut. Harapan setiap guru dan orang tua ialah menginginkan siswa dan anaknya kelak menjadi orang yang berguna dan bermanfaat untuk negara serta bangsanya. Keberhasilan mereka tidak harus dicapai dengan hal-hal tak terpuji seperti korupsi, namun keberhasilan itu harusnya dengan sikap dan perilaku terpuji dibentuk sejak dini dan membudaya dalam kehidupan nyata.
            Sungguh hati saya menangis dan sedih membaca pemberitaan nasional.kompas.com tanggal 19 september 2017, berdasarkan data statistik komisi pemberantasan korupsi disebutkan sejak 2004 hingga juni 2017 ada 78 kepala daerah yang berurusan dengan KPK. Peristiwa yang terbaru lagi, September 2017 ada 5 kepala daerah yang terciduk operasi tangkap tangan KPK. Pertanyaannya, mengapa negeri yang kita cintai ini tidak pernah selesai dengan korupsi?. Pentingkah nilai-nilai dasar korupsi diajarkan di sekolah dasar?, serta apakah kita sudah mengambil peran dalam agenda pencegahan korupsi?.