Oleh
; Zefrin, M.Pd
Pagi yang cerah melihat
wajah-wajah yang ceria, penuh semangat berbaris dengan teratur. Diawali dengan
menyiapkan barisan, menghormat bendera, memberi salam dan berdoa itulah aktivitas
yang dilakukan oleh siswa SD Negeri 89 Sipatana sebelum memulai belajar. Mereka
disambut oleh bapak dan ibu guru dengan penuh senyuman hangat masuk ke kelas
masing-masing dengan berjabat tangan.
Namun, ada hal yang cukup berbeda
terlihat di kelas VI. Begitu selesai kegiatan apel pagi mereka masuk kurang
tertib sering mendahului teman, dan saling dorong berebut masuk ke kelas.
Kejadian seperti ini sering terlihat, usai apel pagi selesai. Kejadian serupa
terlihat pula di kantin sekolah, mereka sering berebut untuk belanja tanpa antre
terlebih dahulu. Ketika mengambil wudhu persiapan sholat dzuhur, tak ada antrean
disana mereka saling berebut bahkan tak sering pula terjadi pertengkaran.
Perkara antre memang begitu
sederhana, tapi implikasi dari budaya antre sangat berdampak pada kehidupan.
Keteraturan, ketertiban, keselarasan bagian dari dampak budaya antre. Hal yang
tidak kalah penting yakni “antre agar tak korupsi”. Antre menurut KBBI yaitu
berdiri berderet-deret memanjang menunggu mendapat giliran. Kegiatan antre
dapat kita temukan dimana saja, dan kapan saja. Antre dalam membeli karcis,
antre dalam membayar rekening listrik, antre menunggu panggilan ke teller bank
dan sebagainya. Di sekolahpun budaya antre sering kita temui. Namun bagaimana
kaitan antre dengan korupsi?, mengambil hak orang lain merupakan bagian dari
korupsi. Jika kita mendahului orang lain maka kita telah mengambil hak orang
lain disana. Membudayakan antre merupakan pelajaran dasar bagi siswa untuk
tidak melakukan korupsi.
Sikap dan perilaku siswa yang
kurang tertib antre menjadi suatu tantangan yang perlu solusi untuk merubahnya.
Pembelajaran antre dan membudayakannya di kelas VI merupakan bagian dari
menanamkan nilai-nilai anti korupsi. Harus ada rencana maupun strategi untuk
memudayakan antre di kelas VI. Sayapun memulainya melalui empat tahapan yakni
1) memberi pemahaman tentang budaya antre dan dampaknya bagi kehidupan, 2)
membuat aturan tentang budaya antre, 3) membiasakan budaya antre masuk kelas,
dikantin dan saat mengambil wudhu 4) melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
budaya antre.
Mulailah tahap awal, pagi hari
ketika bel masuk berbunyi saya membuat tulisan di papan tulis yang cukup besar
yakni tulisan “antre agar tak korupsi”. Sontak ketika masuk mereka kaget dan
salah satu siswa mendekat ke meja saya, “ada apa Tiya, adakah yang Pak Guru
bisa bantu” tanya saya. “Pak Guru, apa maksud dari antre agar tak korupsi”?
tanya tiya dengan wajah yang tampak bingung. Kemudian saya mengapresiasi pertanyaan
Tiya dengan memujinya sebagai murid yang pintar agar teman-temannya yang lain bisa
termotivasi dalam bertanya, menalar dan mendiskusikan kalimat di papan tulis.
Namun sebelum menjawab pertanyaan Tiya tadi mereka melakukan aktivitas rutin
masuk kelas yakni menyiapkan kelas, berdoa dan agenda literasi membaca lima
belas menit.
Pada saat kegiatan membaca, saya
mengarahkan mereka pada teks bacaan terkait pemberitaan berbagai kasus korupsi
yang berakhir dengan hukuman penjara. Setelah kegiatan membaca selesai masuklah
pada pertanyaan Tiya. Kami mendiskusikan masalah antre, kejadian yang sering terlihat
ketika masuk kelas, menyerobot masuk membeli makanan di kantin, perselisihan
yang terjadi ketika mengambil wudhu yang faktor penyebabnya yakni “tidak mau
antre”. Kemudian disela-sela diskusi Albert bertanya dengan rasa penasaran “Pak
Guru, berarti orang yang tidak antri dia melakukan korupsi?”. Saya menjawabnya
dengan tegas “Ya, salah satu ciri-ciri orang korupsi adalah mengambil hak orang
lain, dan pada saat antri jika Albert menyerobot ditengah-tengah antrean
berarti telah mengambil hak orang lain karena mendahuluinya”. Kelas terlihat
hening mereka semua terdiam.
Di tengah keheningan itu saya
memulainya dengan menanamkan pemahaman tentang budaya antre dan dampaknya bagi
kehidupan. Penjelasan dan diskusi kelas mengakhiri tahap pertama dimana memberi
pemahaman sehingga mereka mengerti dan memahami akan pentingnya antre agar tak
korupsi. Selanjutnya masuk pada tahap kedua yakni membuat kesepakatan melalui
aturan-aturan terkait aktivitas antre. Aturan yang dibuat berdasarkan saran dan
ide dari siswa, guru hanya memfasilitasi dan mengarahkan
kesepakatan-kesepakatan tersebut. Aturan yang disepakati yakni terkait dengan
aktivitas antre saat masuk ke kelas, antre berbelanja di kantin sekolah, antre
dalam mengambil wudhu ketika hendak sholat. Dari kesepakatan tersebut disiapkan
buku calang (catatan pelanggaran) yang memuat catatan-catatan pelanggaran yang
dilakukan pada saat tidak tertib dan melanggar antrean.
Setelah kesepakatan itu dibuat
maka pada tahap tiga dilaksanakan pembiasaan, tahap ini merupakan tahap yang
sangat penting bagi siswa dimana mereka harus melakukan aktivitas antre
berdasarkan kesepakatan yang telah mereka sepakati bersama. Pada tahap pembiasaan
mereka melakukan aktivitas antre di sekolah, pada saat masuk kelas, di kantin
sekolah, dan mengambil wudhu ketika hendak sholat. Seluruh siswa berperan aktif
dalam melaporkan apabila terjadi pelanggaran dan kesalahan. Setiap pelanggaran
yang terjadi akan dicatat pada buku calang.
Mulailah saya melakukan pengamatan
terhadap aktivitas siswa. Ketika melihat mereka di kantin sekolah, saya sangat
bangga mereka mulai tertib. Catatan kecil yang saya dapatkan dari aktivitas
antre di kantin yakni mereka saling mengingatkan utuk tetap bersikap tertib. Di
siang hari ketika hendak mengambil wudhu, tak teredengar lagi sahutan atau
teriakan mereka yang selalu berselisih akibat tak tertib antre. Keesokan hari
pada saat selesai apel pagi merekapun masuk dengan tertib berjabatan tangan
dengan saya, walaupun masih terdengar sahutan saling mengingatkan untuk antre.
Tidak masalah buat saya, yang terpenting adalah ini bagian dari pembiasaan, jika
pembiasaan ini berhasil maka akan membudaya pada keseharian mereka. Tahap
pembiasaan dilaksanakan selama satu bulan setelahnya akan dilakukan evaluasi.
Setelah satu bulan berlangsung,
maka pada tahap keempat dilaksanakan evaluasi. Tahap evaluasi dilaksanakan
untuk melihat keberhasilan budaya antre. Salah satu acuan dasar dalam
mengevaluasi budaya antre adalah dengan membuka buku catatan pelanggaran.
Setiap pelanggaran dibahas dilakukan refleksi sebagai perbaikan untuk
melaksanakan agenda selanjutnya. Pada tahap evaluasi saya memberikan reward
terhadap siswa yang namanya tidak masuk pada buku calang, dan memilih tiga
siswa terbaik dalam mengikuti budaya antre di kelas VI. Mereka sangat antusias,
sangat senang ketika diberi reward dan terpilih sebagai siswa terbaik budaya
antre.
Sayapun mewawancarai salah satu
siswa terbaik budaya antre. “Tiya, gimana perasaannya terpilih sebagai siswa
terbaik dalam kegiatan ini?”. Tiya menjawab sambil tersenyum, “saya sangat
senang Pak Guru”. “Apa kendala dalam melaksanakan kegiatan seperti ini?, tanya
saya. “kendalanya tidak ada pak, hanya saja saya selalu mengingatkan
teman-teman untuk selalu bersikap tertib” jawabnya. Pertanyaan terakhir “adakah
manfaat untuk membudayakan antre?”. Tiya menjawab dengan tegas “ya Pak Guru, tidak
ada lagi yang rebutan masuk kelas, semuanya tertib tanpa mendahului orang
lain”.
Empat tahapan telah dilaksanakan
untuk menumbuhkan budaya antre di kelas. Setelah evaluasi dilakukan, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan kegiatan budaya antre terlaksana dengan
baik. karakter antre sangat sederhana namun terkadang sulit untuk dilaksanakan.
Nilai dasar budaya antre akan memberi kontribusi terhadap pendidikan korupsi.
Mendahului orang lain tanpa melalui proses antre, sama saja dengan kita mengambil
hak orang lain. Inilah bagian dari proses pendidikan karakter yang harus selalu
di ajarkan di sekolah.
Sampai saat ini budaya antre terus
terbina di kelas VI. Hasil dari pembinaan ini berdampak pada kelas yang lain,
dimana strategi menumbuhkan budaya antre agar tak korupsi dilakukan disetiap
kelas dan menjadi kebijakan sekolah. Inilah upaya yang dilakukan sejak dini
untuk mencegah praktek-praktek korupsi. Jika pendidikan dasar mulai menyentuh
agenda-agenda pencegahan korupsi, maka negeri ini akan bebas dari kegiatan
korupsi.
Budaya antre mungkin hanya satu
dari sebagian upaya dalam memproteksi kegiatan korupsi. Namun, jika kita tidak
memulai dari hal-hal yang kecil dan menjadi dasar seperti budaya antre maka
sangat sulit untuk melakukan dan memberantas tidakan buruk tersebut. Harapan
setiap guru dan orang tua ialah menginginkan siswa dan anaknya kelak menjadi
orang yang berguna dan bermanfaat untuk negara serta bangsanya. Keberhasilan
mereka tidak harus dicapai dengan hal-hal tak terpuji seperti korupsi, namun
keberhasilan itu harusnya dengan sikap dan perilaku terpuji dibentuk sejak dini
dan membudaya dalam kehidupan nyata.
Sungguh hati saya menangis dan sedih membaca
pemberitaan nasional.kompas.com tanggal 19 september 2017, berdasarkan data
statistik komisi pemberantasan korupsi disebutkan sejak 2004 hingga juni 2017
ada 78 kepala daerah yang berurusan dengan KPK. Peristiwa yang terbaru lagi,
September 2017 ada 5 kepala daerah yang terciduk operasi tangkap tangan KPK.
Pertanyaannya, mengapa negeri yang kita cintai ini tidak pernah selesai dengan
korupsi?. Pentingkah nilai-nilai dasar korupsi diajarkan di sekolah dasar?,
serta apakah kita sudah mengambil peran dalam agenda pencegahan korupsi?.
Super, inspirasi baru ��
ReplyDeleteTks. Pak Hasbullah
Deletepertanyaan itu pak seharusnya di lanjutkan lagi.. soalnya saya membaca belum puas terhadap lanjutan artikel ini...
ReplyDeleteItulah feature.
DeleteTunggulah artikel2 berikutnya.
Mantap,Korupsi harus diberantas sejak dini
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAsyik untuk dibaca
ReplyDelete